IPK tinggi memang menjadi idaman setiap mahasiswa. Baik swasta maupun negeri semuanya pasti ingin mempunyai ipk tinggi. IPK ibarat sebuah standar yang menjadi acuan prestasi seseorang. Walaupun sebenarnya banyak prestasi yang tidak bisa di wakilkan dengan nilai IPK.
Meskipun IPK tidak menjamin kesuksesan seseorang, tapi dengan IPK tinggi akan memudahkan satu langkah jalan kita untuk menjadi sukses.
Baca juga: Kuliah Ngejar IPK Tinggi atau Aktif di Organisasi.
Apa yang saya maksud memudahkan?
Sebagai contoh saja, misalnya saat ingin melamar kerja atau beasiswa S2. Standar IPK yang diterima adalah minimal 3.5. Karena IPK rendah, kamu jadi tidak bisa ikut mendaftar peluang tersebut. Padahal mungkin kamu memiliki kemampuan yang lebih baik. Tapi gara-gara syarat si IPK ini kamu gugur di tahap awal. Itulah yang saya maksud memudahkan satu langkah jalan menuju sukses.
Tentang IPK perguruan tinggi negeri vs swasta
Kembali ke topik mengenai IPK antara perguruan tinggi negeri dan swasta. Saya yakin tidak semua perguruan tinggi swasta memberikan nilai mudah. Makanya pada judul artikel ini saya menggunakan kata “yang terkadang”. Artinya ada beberapa yang “belum sadar” akan tanggung jawab dari nilai ini.
Sebenarnya saya tidak ingin membandingkan keduanya. Karena saya yakin itu hanya sifat personal oknumnya saja. Tapi dari sudut pandang pribadi, saya melihat masih banyak juga kampus yang memberikan nilai cuma cuma tanpa melihat kemampuan dari orangnya. Akibat perbedaan budaya inilah banyak perusahaan atau lembaga beasiswa menetapkan IPK tinggi sebagai syarat. Karena menurut perusahaan jaman sekarang mendapatkan nilai A itu sangat mudah.
Baca: Cara Ampuh Meningkatkan Nilai IPK.
Dari budaya itu akhirnya banyak pihak yang dirugikan. Seperti menurunnya kepercayaan perekrut dengan nilai IPK, gagalnya orang yang mungkin lebih bisa daripada kita untuk bersaing karena budaya kampusnya pelit nilai. Paling fatalnya lagi kemampuan generasi indonesia tidak berkembang dan justru semakin terbelakang.
Oleh Karena itu sekarang kebanyakan pihak perekrut akan melakukan tes langsung tanpa melihat nilai IPK. Namun sayang hal itu tidak berlaku untuk pendaftaran beasiswa. Untuk mendaftar beasiswa tetap syarat pertama minimal IPK. Jika tidak terpenuhi maka gagal.
Mungkin dimasa depan nanti nilai IPK sudah tidak berarti lagi alias kehilangan kepercayaannya. Kasus terparahnya selain hal di atas adalah budaya beli nilai yang marak di kampus. Mungkin tidak hanya swasta bahkan negeri juga ada yang melakukan ini.
Inilah budaya-budaya yang membuat bobrok generasi muda. Pengajar seharusnya memberikan contoh yang baik, sadar akan masa depan anak didiknya. Bukan malah mengambil keuntungan sendiri tanpa memikirkan orang lain. Pengajar yang seharusnya memikirkan kemajuan kompetensi mahasiswanya, bukan hanya makan gaji buta saja.
Harapan saya
Kepada pihak kampus manapun, terutama untuk para pengajarnya tolong berikan sesuatu yang sesuai. Jika seorang mahasiswa gagal, itu akan mengajarkan kepada mereka arti dari usaha dan tanggung jawab. Bukan justru membiarkannya dengan memanfaatkan kondisi itu sebagai lahan bisnis.
Sedangkan untuk mahasiswa yang terlena dengan sistem seperti itu. Saya hanya ingin bilang bahwa pekerjaan yang kamu tekuni nanti akan menuntut profesionalitas dan tidak semudah itu. Jika sejak kuliah terbiasa dengan budaya semudah itu, maka percayalah kamu akan malu dan menyesal ketika sudah bekerja karena kamu tidak bisa apa-apa.
Tulisan ini hanya celotehan biasa, jangan dibaca terlalu serius. 😀 Karena serius butuh tenaga yang banyak!